Mengapa Semua Orang Dipanggil Ustad ?

Dr. Hartono
Dosen STAIS Kutai Timur & Sekjend Majelis Ta’lim Al Ihsan
(Pengelola Kajian Islamic Studies/KIS)
PANGGILAN “ustad” yang kini kerap diberikan kepada banyak orang, tak peduli latar belakang atau kapasitas keagamaan yang dimilikinya, menunjukkan fenomena menarik dalam dinamika sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Pada awalnya, gelar “ustad” hanya disematkan kepada mereka yang benar-benar mendalami ilmu agama Islam, berperan sebagai guru, pendakwah, atau ahli agama yang diakui secara formal. Namun, dalam praktik sehari-hari, gelar ini semakin longgar penggunaannya.
Salah satu alasan utama mengapa semua orang kini dipanggil “ustad” adalah bentuk penghormatan yang lebih umum dan santai, terutama dalam komunitas Muslim yang ingin menunjukkan rasa hormat atau keakraban. Panggilan ini berfungsi sebagai alat sosial untuk mempererat hubungan dan memberi kesan positif tanpa harus mengukur otoritas ilmu secara ketat.
Selain itu, perkembangan media sosial dan budaya populer turut mendorong penggunaan istilah ini secara meluas, di mana figur-figur yang tampil di ruang publik, seperti influencer atau tokoh dakwah muda, mudah mendapat label “ustad” oleh pengikutnya, meskipun tingkat keilmuan mereka bervariasi.
Detailnya barangkali seperti ini, kata ustad atau ustadz merupakan istilah yang sarat makna dan mengalami perjalanan panjang dalam sejarah umat Islam. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab ustādh, yang berarti guru, pengajar, atau orang yang memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, istilah ini tidak hanya digunakan untuk mereka yang mengajarkan ilmu agama, tetapi juga bagi ahli filsafat, sastra, bahkan seni.
Namun, ketika istilah ini menyeberang ke Nusantara, khususnya melalui jalur haji, studi ke Mekah dan Kairo, serta perkembangan pesantren, makna kata ustad menjadi lebih sempit. Ia dipahami terutama sebagai sebutan untuk pengajar agama Islam, seseorang yang memiliki otoritas dalam tafsir, hadis, fikih, maupun akhlak.
Di Indonesia, istilah ustad mulai menempati posisi penting seiring berkembangnya sistem pendidikan Islam. Pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara, gelar ini belum begitu populer. Orang lebih sering menyebut guru ngaji atau kiai atau mungkin Pak saja seperti yang penulis alami ketika nyantri di PP. Tebuireng Jombang. Baru pada abad ke-19, ketika interaksi dengan dunia Islam internasional semakin intens, kata ustad mulai digunakan, ia dipakai untuk menyebut guru-guru muda atau asisten kiai yang mengajar santri.
Jika kiai dianggap sebagai sosok yang memiliki otoritas tertinggi dalam pesantren, maka ustad adalah figur yang menjaga keberlangsungan proses belajar mengajar sehari-hari, sekaligus pewaris tradisi keilmuan Islam.
Seiring perjalanan sejarah, kata ustad terus bergerak masif. Pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan, ketika madrasah dan sekolah Islam tumbuh subur, panggilan ini semakin dikenal luas. Ia tidak lagi eksklusif, melainkan juga digunakan di lembaga pendidikan formal, majelis taklim, hingga organisasi dakwah masyarakat.
Peran media turut memperkuat popularitas istilah ini. Radio dan televisi pada era 1980-an hingga 2000-an melahirkan figur-figur ustad selebriti yang dikenal masyarakat luas. Nama-nama seperti Ustad Jefri Al-Bukhori atau Aa Gym dan sampai detik ini menunjukkan bagaimana panggilan ustad tidak lagi terbatas pada ruang kelas eklusif, melainkan hadir di layar kaca dan menjadi bagian dari budaya populer.
Namun, memasuki era digital, makna ustad mengalami pergeseran yang jauh lebih signifikan. Media sosial melahirkan fenomena baru: siapapun yang aktif berdakwah di YouTube, TikTok, Instagram, atau podcast bisa disebut ustad. Popularitas, jumlah pengikut, dan daya tarik retorika sering kali lebih menentukan pengakuan masyarakat dibanding sanad keilmuan atau kedalaman pemahaman agama.
Akibatnya, muncul figur-figur ustad instan yang mungkin lebih lihai berkomunikasi ketimbang berdebat dalam khazanah keilmuan Islam klasik serta kedalaman ilmu yang dimiliknya. Pergeseran ini membawa dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, ia membuka akses dakwah yang lebih luas.
Pesan-pesan keislaman bisa disampaikan dengan bahasa yang sederhana, gaya yang segar, dan cara yang mudah dipahami generasi muda. Kehadiran ustad di media sosial menjembatani jarak antara ajaran agama dan realitas anak muda yang hidup dalam dunia digital.
Namun, di sisi lain, muncul tantangan serius ketika gelar ustad tidak lagi diukur dari kapasitas intelektual, ke’aliman dalam ilmu melainkan dari logika popularitas. Dakwah bisa tereduksi menjadi hiburan, bahkan komoditas, ketika status sebagai ustad digunakan untuk tujuan komersial atau bahkan kosumsi politik.
Di tengah pergeseran ini, tantangan utama adalah bagaimana menjaga agar gelar ustad tidak kehilangan makna aslinya sebagai simbol penghormatan terhadap ilmu dan integritas moral. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai otoritas seorang ustad, tidak hanya terpesona pada retorika atau jumlah pengikut, tetapi juga menimbang sanad keilmuan, integritas akhlak, dan konsistensi dakwahnya. Sementara itu, para ustad di era modern perlu membuktikan diri bukan hanya sebagai komunikator narasi ansih, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai keilmuan Islam yang sahih dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, kata ustad adalah cermin perjalanan sejarah Islam di Indonesia: sebuah istilah yang fleksibel, dinamis, dan selalu menyesuaikan diri dengan zaman. Akan tetapi, fleksibilitas itu tidak boleh mengikis nilai luhur yang sejak awal melekat padanya. Sebab, tanpa kesadaran menjaga marwah keilmuan, kata ustad berisiko menjadi label kosong yang hanya dipinjam oleh logika popularitas, padahal sejatinya ia adalah gelar yang lahir dari penghormatan kepada ilmu, sanad, dan keteladanan.