Opini

Sholat di Masjid Suwarna dan Awang

Catatan Rizal Effendi

KAMIS kemarin saya bermalam di Samarinda. Tujuan utamanya ingin sholat di dua masjid yang pernah dibangun oleh dua gubernur Kaltim pada zamannya. Salat tarawihnya di Masjid Nurul Mu’minin yang dibangun Gubernur Kaltim Dr H Awang Faroek Ishak pada tahun 2018 dan salat Jumatnya di Masjid Baitul Muttaqien Islamic Center Kaltim, yang dibangun Gubernur H Suwarna Abdul Fatah pada tahun 2001. Sekalian sambil belajar dalam urusan memakmurkan masjid. Maklum saya sekarang menjadi ketua umum Masjid Agung At Taqwa Balikpapan.
Saya menikmati bisa salat di kedua masjid tersebut. Selain masjidnya sangat megah, juga mengingatkan saya kepada kedua tokoh yang berjasa besar bagi pembangunan Kaltim itu. Pak Awang Faroek, walaupun kondisinya tidak sesegar dulu, toh tetap bersemangat mengabdi sebagai wakil rakyat, anggota DPR RI dari Partai Nasdem. Sementara Pak Suwarna sekarang menikmati masa tuanya di kediamannya yang sangat luas di kawasan Tapos Bogor, Jawa Barat.
Saya banyak bergaul dan bahkan banyak dibimbing oleh kedua gubernur tersebut. Saya mengenal Pak Awang sejak beliau menjadi dosen saya di Universitas Mulawarman (Unmul) tahun 80-an. Pak Awang jadi dosen Kewiraan dan juga pembantu rektor (Purek) III/Kemahasiswaan. Pernah menjadi ketua DPD KNPI dan PGRI Kaltim. Sampai menjadi anggota DPR RI, bupati Kutai Timur, gubernur Kaltim, dan kembali lagi jadi anggota DPR RI. Pak Awang menjadi contoh generasi milenial betapa hebatnya perjalanan pengabdian Pak Awang dalam kondisi apa pun demi kepentingan masyarakat.
Sedang Pak Suwarna yang mendorong saya terjun ke wilayah politik. Dari wartawan akhirnya saya menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah, kemudian wakil wali kota dan wali kota Balikpapan dua periode. Jika lagi datang ke Kaltim, niscaya Pak Suwarna selalu singgah di Balikpapan mengajak makan bersama. “Maju terus selama sehat,” katanya memotivasi saya.
Pembangunan Masjid Nurul Mu’minin di belakang kompleks gubernuran, Lamin Etam itu, benar-benar menyita perhatian warga kota Samarinda dan bahkan DPRD Kaltim. Ketika akan dibangun dengan biaya APBD sebesar Rp 83 miliar, ada sebagian warga mendukung, tapi sebagian lagi menolak keras sampai berbuntut aksi unjuk rasa dan serangan ke Gubernur Awang. Mereka bukan menolak masjidnya, akan tetapi lokasinya yang dinilai kurang tepat, karena Lapangan Kinibalu bersejarah dari sisi perjuangan rakyat Kaltim dan bersejarah dari sisi perkembangan olahraga terutama sepakbola. Karena itu harus tetap dipertahankan seperti apa adanya.
Dari cerita sejarah perjuangan rakyat di daerah ini, disebutkan pada tanggal 23 Januari 1950 atas desakan para pejuang Kaltim akhirnya Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Parikesit mengumumkan tiga sikapnya terhadap pemerintah Indonesia. Pertama, menyetujui bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, setuju bahwa Pancasila adalah dasar pemerintahan. Dan yang ketiga, meminta Pasal 45 UUD RI Serikat, yaitu pemerintahan yang demokratis secepatnya dilaksanakan. Tempat pengumuman Sultan itu di lapangan terbuka, yang belakangan dikenal sebagai Lapangan Kinibalu.
Pada saat itu juga sempat tampil berorasi Abdoel Moeis Hassan sebagai ketua Front Nasional, tokoh utama pergerakan kaum Republiken. Moeis yang akhirnya sempat menjadi gubernur Kaltim tahun 1962–1966 menuntut pemerintahan swapraja atau kesultanan dibubarkan. “Rakyat akan berterima kasih bila Sultan dan kaum bangsawan bisa menyesuaikan diri,” kata Moeis ditulis dalam bukunya Ikut Mengukir Sejarah.
Belakangan Lapangan Kinibalu banyak digunakan oleh warga sebagai lapangan sepakbola dan fasilitas bermain lainnya. Di situ lahir pemain-pemain terbaik Persisam Samarinda terutama dari keluarga Alex, mulai Aji Sofyan Alex, Mursandi Alex, Deki Alex sampai Adji Surya Dharma Alex. Bahkan Gubernur HM Ardans SH (1988-1998) sewaktu muda sempat berlatih sepakbola di sana. “Pak Ardans bermain di Lapangan Kinibalu saat persiapan menghadapi Pekan Pemuda di Surabaya tahun 1957,” kata Sofyan Alex, yang sempat berkarier di pemerintahan dan anggota DPRD Kaltim.
Menurut pelatih senior Eddy Simon Badawi, dari Lapangan Kinibalu juga lahir pemain sepakbola berbakat Aji Ridwan Mas, yang pernah memperkuat tim nasional Garuda tahun 1980-an. Juga di luar keluarga Alex, ada pemain yang juga namanya terkenal yaitu Ahmad Saibe. “Karena itu kita bangga dan ingin mempertahakan sejarah Lapangan Kinibalu,” tambahnya.
Saya sendiri punya kenangan di Lapangan Kinibalu. Di lapangan itu saya pertama kali bisa nonton sirkus di tahun 70-an. Saya ingat betul saat itu rombongan sirkus dari India (the Great Royal Circus of India) yang datang. Saya sangat menikmati dan terkagum-kagum karena pertama kali bisa melihat langsung hewan gajah, harimau, dan singa. Dan bisa melihat atraksi ketangkasan akrobatik para pemain sirkus mulai naik sepeda sampai meloncat-loncat di udara seperti Tarzan. Saya sempat nonton dua kali; satu kali membeli karcis, dan satunya masuk dengan nyerobot supaya gratis. Hehehe.
Meski dibangun zaman Pak Awang, Masjid Nurul Mu’minin yang arsitekturnya terinspirasi masjid di Dubai, Uni Emirat Arab, diresmikan pada masa Gubernur Isran Noor dan peresmiannya tepat pada hari Jumat 24 Juli 2020 bersamaan dengan perayaan Tahun Baru Islam 1442 Hijriah. Salat Jumat pertama itu langsung Wagub Hadi Mulyadi bertindak sebagai khatib.
Awalnya masjid yang dibangun di atas lahan seluas 16 ribu meter persegi ini dengan biaya Rp 83 miliar akan diberi nama Masjid Al Faroek, tapi akhirnya ditetapkan dengan nama lain Nurul Mu’minin. Luas bangunan masjid berlantai tiga ini 5 ribu meter persegi dan diperkirakan bisa menampung jamaah sebanyak 3.500 orang.
Suasana di dalam masjid terasa sejuk. Karpetnya berwarna hijau sama dengan karpet di Masjid Agung At Taqwa. Sound system-nya juga jernih. Kotak selawatan ditempeli QR Code Bankaltimtara, sehingga yang bersedekah bisa tempel HP-nya jika tak mau uang tunai. Karena malam Jumat, meski salat tarawihnya 11 rakaat termasuk witir 3 rakaat, masih ditambah lagi ada salat tasbih 4 rakaat. Malam itu sebagai penceramah KH Drs Tasrifin Karim, tokoh Gerakan Baca Alquran dari Kalsel, yang juga mengisi acara Khotmil Quran di Masjid Baitul Muttaqien Islamic Center. Kiai Tasrifin mengajak umat Islam terus menggelorakan semangat baca Alquran. “Mudah-mudahan hanya sementara kebijakan Kemenag menghentikan izin baru pendirian PAUD Alquran dan Rumah Tahfidz Alquran,” katanya.
TERBESAR KETIGA
Setiap orang datang ke Samarinda pasti terkagum-kagum melihat kemegahan Masjid Baitul Muttaqien Islamic Center Kaltim di Telok Lerong. Apalagi letaknya di tepi Sungai Mahakam. Karena itu tak jarang tamu dari berbagai daerah berkunjung ke tempat ini untuk melaksanakan wisata rohani. Dari jembatan Mahakam orang sudah bisa melihat ketinggian 7 menara masjid, di mana menara utamanya menjulang setinggi 99 meter menggambarkan asmaul husna atau 99 nama-nama Allah SWT. Di waktu malam tambah semarak dengan cahaya lampu hiasnya yang penuh nuansa keagungan dan artistik. Kalau kita melangkah dari lantai dasar ke lantai utama, jumlah anak tangganya ada 33 menggambarkan sepertiga jumlah biji tasbih. Sedang 6 menara lainnya simbol rukun iman ada enam.
“Ini niatnya Bapak Gubernur Suwarna yang sangat luar biasa. Beliau terinspirasi ketika salat di Masjid Nabawi saat melaksanakan ibadah umrah ke Tanah Suci,” kata Ketua Masjid Baitul Muttaqien, Awang Dharma Bhakti (ADB). Waktu pembangunan masjid, ADB sebagai kepala Dinas Pekerjaan Umum Kaltim. Dia ditugasi memimpin langsung pembangunan Masjid Baitul Muttaqien yang menelan biaya APBD tidak tanggung-tanggung sebesar Rp 500 miliar bahkan terakhir mencapai Rp 650 miliar. Kontraktor utamanya dipercayakan kepada Total Bangun Persada dengan 4 perusahaan perencana. Sebelumnya mereka melakukan studi banding ke Malaysia, Turki, dan Arab Saudi.
Istimewanya pembangunan masjid ini melibatkan tiga presiden. Pencanangannya tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke Bontang. Sedang pemancangan tiang pertama dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 5 Juli 2001. Tujuh tahun kemudian baru rampung dan diresmikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 16 Juni 2008.
Semula nama masjid hanya dikenal sebagai Masjid Islamic Center Kaltim. Baru enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2014 diberi nama Masjid Baitul Muttaqien, yang peresmian namanya dilakukan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin.
Dengan luas bangunan utama 43.500 meter persegi, Baitul Muttaqien mampu menampung sampai 45 ribu jamaah. Karena itu masjid ini termasuk terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal Jakarta dan Masjid Agung Surabaya. Baitul Muttaqien juga termasuk dalam seribu masjid terindah dari 7.000 masjid yang ada di Indonesia.
Baitul Muttaqien dibangun di atas lahan yang sangat luas, 120 ribu meter persegi. Tadinya tanah ini adalah lokasi penggergajian kayu, kantor, dan kompleks perumahan karyawan PT Inhutani I. Berkat kegigihan Gubernur Suwarna ditambah lagi tujuan utama sangat mulia untuk lokasi Islamic Center, PT Inhutani I akhirnya ikhlas menghibahkan.
Masjid ini memiliki gaya khas masjid-masjid di Turki yang dikombinasikan dengan gaya bangunan Eropa, Timur Tengah, dan Melayu. Perpaduan aneka gaya arsitektur itu dapat dilihat dari bentuk kubahnya yang mengadopsi model kubah Masjid Haghia Sophia di Turki. Menaranya mengadopsi Masjid Nabawi dan selasar masjid yang terdapat tujuh gerbang mengadopsi Masjid Putrajaya, Malaysia.
Di area lantai dasar masjid terdapat sebuah beduk dari kayu asli Kalimantan, Bengkirai (Shorea laevis) berdiameter 180 cm. Bentuk beduknya agak unik karena mengikuti bentuk batang kayu aslinya. Kayu bengkirai dikenal masyarakat mirip kayu ulin, yang biasanya digunakan untuk kusen rumah atau bangunan lainnya. “Itu sumbangan pribadi dari keluarga Pak Suwarna,” kata ADB.
Masjid Baitul Muttaqien Islamic Center Kaltim dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Ada perpustakaan yang luas, ruang serbaguna untuk pertemuan termasuk resepsi pernikahan, taman kanak-kanak, klinik bersalin, asrama, dan kantin. Jalan masuknya juga dilengkapi dengan fasilitas untuk penyandang disabilitas.
Ketika saya temui seusai salat Jumat kemarin, ADB sempat kaget. Saya langsung diperkenalkan dengan pengurus masjid lainnya. “Setelah pensiun saya banyak di sini, mendapat amanah memakmurkan masjid ini,” katanya bersemangat.
Dalam pengumpulan dana jamaah, pengurus amat gigih. Di pagar masuk sudah ada petugas yang memegang kantong infak parkir. Di tangga menuju ruang salat juga ada sejumla remaja yang bertugas. Di dalam masjid selain kotak amal yang diedarkan, masih ada sejumlah anak-anak remaja masjid yang membawa kantong infak. Kotak amalnya juga ditempeli QR Code Bankaltimtara.
Ketika saya akan meninggalkan masjid, Samarinda diguyur hujan. “Sepertinya hujan berkah karena Bapak salat di masjid ini,” kata seorang jamaah yang mengenal saya sambil minta berselfie ria. Alhamdulillah, kita masih bisa menikmati Ramadan yang agung.(*)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button