Opini

Kembalikan Marwah Pers: Sebuah Seruan dari Hati untuk Menyelamatkan Jurnalisme

Oleh: Ekky Yudistira

PAGI ini, seperti biasa, saya duduk di warung kopi pinggir Jalan Profesor Dokter Sudiatmo, menghadap laptop dengan secangkir kopi pahit yang sudah dingin diselingi dentingan notifikasi whats app grup yang dipenuhi berbagai narasi dan pemberitaan. Sebagai wartawan muda di salah satu media lokal di kabupaten penghasil batubara di Indonesia, setiap hari saya menyaksikan langsung bagaimana pers di daerah ini, dan mungkin Indonesia secara umum, perlahan kehilangan jati dirinya.

Setiap pagi, ketika saya berangkat kerja dengan sepeda motor bekas yang belum lama ini sanggup saya beli, saya selalu bergumam dalam hati: “Hari ini mau jadi wartawan yang seperti apa?” Pertanyaan ini terus menghantu karena pilihan yang ada selalu dilematis. Sebagai seorang yang telah merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan pers dalam mengubah nasib bangsa, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan kegelisahan yang menggerogoti hati.

Masih segar dalam ingatan saya bagaimana para wartawan senior dulu bekerja. Mereka rela menginap di warung kopi hingga larut malam, hanya untuk mendapatkan satu informasi yang akurat. Mereka tidak kenal lelah menggali fakta, meski harus menempuh perjalanan jauh ke daerah terpencil. Yang saya ingat, mereka selalu berprinsip: “Kebenaran adalah segalanya, meski nyawa menjadi taruhannya.” Prinsip yang kini diganti dengan kalimat “Tidak ada berita seharga nyawa.”

Dulu, ketika seorang wartawan datang ke kantor pemerintahan atau perusahaan, mereka disambut dengan hormat sekaligus waspada, bukan karena takut dipalak, melainkan karena menghormati profesi yang berani mengatakan kebenaran. Para pejabat tahu betul bahwa pers adalah mata rakyat yang selalu mengawasi.

Dalam hembusan asap rokok yang menguar, selalu tergambar bahwa bekerja sebagai wartawan di daerah penghasil batubara di Indonesia telah memberikan saya pelajaran berharga tentang betapa rumitnya tantangan pers lokal. Kami tidak hanya berhadapan dengan tekanan ekonomi, tapi juga politik lokal yang sangat kental dengan kepentingan bisnis. Namun, justru dari situlah saya belajar bahwa jurnalisme yang berintegritas sangat dibutuhkan. Masyarakat di daerah ini butuh informasi yang jujur untuk mengambil keputusan. Mereka butuh media yang berani mengawasi kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.

Namun kini, hati saya mencelos melihat kondisi pers saat ini. Media yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebenaran, malah banyak yang terjebak dalam permainan kotor. Saya sering mendengar cerita miris dari teman-teman wartawan: ada yang terpaksa menulis berita pesanan demi menghidupi keluarga, ada yang harus menutup mata terhadap korupsi karena tekanan dari atas. Lalu, ke mana perginya kehormatan jurnalisme yang pernah kami kenal?

Yang paling menyakitkan adalah melihat bagaimana beberapa media yang dulu kami jadikan kiblat, kini lebih mengutamakan rating dan profit daripada kebenaran. Berita sensasional yang memecah belah bangsa lebih diprioritaskan ketimbang investigasi mendalam yang bisa membuka mata masyarakat. Hal ini diperparah dengan era digital saat ini. Siapa saja kini bisa menjadi penyebar informasi. Tapi di sini juga letak masalahnya: tidak semua orang yang memegang “pena digital” memahami tanggung jawab moral seorang jurnalis.

Saya sering merasa sedih melihat timeline media sosial dipenuhi konten disinformasi hingga hoaks yang dibagikan tanpa verifikasi. Yang lebih menyakitkan, berita-berita palsu ini justru lebih cepat viral ketimbang laporan mendalam yang dibuat wartawan profesional dengan susah payah. Belakangan ini, saya juga prihatin melihat fenomena clickbait yang merajalela. Judul-judul yang bombastis dan menyesatkan demi meraup klik, tanpa peduli dampak negatifnya terhadap masyarakat. Seakan-akan kebenaran sudah tidak lagi menjadi prioritas utama.

Sebagai warga negara biasa, sekaligus wartawan di media lokal, saya merasakan langsung dampak dari kemerosotan kualitas pers ini. Ketika ingin mencari informasi yang bisa dipercaya tentang kebijakan pemerintah atau kondisi ekonomi, saya harus extra hati-hati dalam memilah-milah sumber. Yang lebih mengkhawatirkan, saya melihat bagaimana keluarga dan tetangga saya mulai terpolarisasi karena mengonsumsi berita dari sumber yang berbeda-beda, yang masing-masing memiliki kepentingan tersembunyi. Diskusi yang dulu hangat dan sehat, kini sering berujung pada perdebatan sengit bahkan pertengkaran.

Harapan dari Seorang Anak Bangsa

Meski hati ini sedih dan kecewa, saya masih menyimpan harapan bahwa pers kita bisa kembali berjaya. Saya bermimpi suatu hari nanti, anak-cucu kita bisa membaca berita dengan tenang, tanpa khawatir dimanipulasi atau dibohongi.

Saya berharap para wartawan muda, generasi setelah saya terutama, yang baru terjun ke dunia jurnalistik tidak kehilangan idealisme mereka. Mereka harus tetap percaya bahwa profesi ini mulia, meski godaan untuk “menyimpang” begitu besar. Saya yakin, masih banyak jurnalis yang rela miskin asalkan bisa tidur nyenyak karena tidak mengkhianati nurani.

Ketika saya menutup mata, menikmati denyut caffein bercampur nikotin dalam darah dan mengingat masa-masa indah ketika pers masih bermartabat, hati ini terasa hangat. Saya ingat bagaimana bangsa ini bersatu ketika membaca laporan investigatif yang membongkar korupsi besar. Saya ingat bagaimana kami semua merasa bangga memiliki wartawan-wartawan yang berani dan jujur.

Hari ini, saya menulis ini bukan sebagai kritik yang menghancurkan, tapi sebagai teriakan hati seorang anak bangsa yang sangat mencintai profesi dan negerinya. Saya percaya, pers yang bermartabat bukan hanya mimpi, tapi cita-cita yang sangat mungkin diwujudkan jika kita semua bersatu padu.

Mari kita kembalikan marwah pers, bukan hanya untuk industri media, tapi untuk masa depan anak cucu kita. Mari kita buktikan bahwa bangsa ini masih punya hati nurani yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Semoga suatu hari nanti, pers Indonesia kembali menjadi kebanggaan bangsa, seperti dulu kala. Semoga suatu hari nanti, kata “wartawan” kembali disebut dengan penuh hormat, bukan dengan curiga.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button