Tren Pose Mesra Polaroid AI Bikin Geger, Pemerintah Didorong Atur Penggunaan AI

Catatan: Nayla Herma Yulika*)
JAGAD media sosial diramaikan dengan tren edit foto polaroid menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Awalnya, tren ini terlihat lucu dan kreatif. Namun, lama kelamaan banyak warganet merasa tren tersebut mulai berlebihan.
Banyak foto yang diedit menampilkan pose mesra, bahkan hingga dianggap tak senonoh. Hal yang menjadi perhatian, foto-foto itu tidak hanya menampilkan wajah masyarakat umum, tapi juga wajah figur publik seperti artis dan pemain tim nasional.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena banyak editan dibuat tanpa izin dan dianggap sebagai bentuk pelecehan digital, sehingga pihak yang bersangkutan merasa tidak nyaman.
Menanggapi hal tersebut, beberapa figur publik akhirnya buka suara. “Teman-teman, minta tolong lebih sopan lagi ya. Tidak perlu edit yang seperti ini,” tulis pemain Timnas Indonesia Rizky Ridho di Instagram Story miliknya @rizkyridhoramadhani pada Kamis (11/9/2025).
Sementara itu, pesepak bola Sandy Walsh juga memberikan peringatan serupa. “Saya ingin meminta dengan hormat kepada orang-orang untuk berhenti membuat foto-foto saya tanpa persetujuan saya karena hal ini dapat menyebabkan masalah atau kesalahpahaman di masa depan.”
Ia menegaskan, jika hal itu terus terjadi, dirinya tak segan memblokir akun-akun yang melakukannya. Pernyataan tersebut ia unggah melalui akun Instagram-nya @sandywalsh pada Rabu (10/9/2025).
Tak hanya dari kalangan pesepak bola, penyanyi Selvie Kitty juga menanggapi fenomena ini. “Aku pun kalau ada orang yang mengedit fotoku lalu hasilnya membuat aku merasa ‘apaan sih’, atau memposting foto seperti itu juga pasti akan aku tegur,” ujarnya dalam wawancara dengan InsertLive pada Senin (15/9/2025).
Fenomena ini menunjukkan dua sisi dari kemajuan teknologi AI. Di satu sisi, AI dapat menghasilkan karya yang menarik dan kreatif. Tapi di sisi lain, jika disalahgunakan teknologi ini berpotensi melanggar privasi dan merugikan orang lain.
Hingga kini, Indonesia belum memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur penggunaan dan penyebaran konten berbasis kecerdasan buatan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, yang mengakui bahwa Indonesia memang belum memiliki aturan khusus yang secara komprehensif mengatur pengembangan dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).
“Bagaimana negara mengatur AI, selalu ditanyakan dan selalu menjadi masalah belakangan ini. Karena cepatnya perkembangan AI, baik pengembangannya maupun pemakaiannya di tengah masyarakat,” tutur Reza dalam Podcast Whats Up Kemenkum pada Jumat (8/8/2025), dikutip dari Hukumonline.com.
Pengaturan mengenai AI masih mengacu pada regulasi yang sudah ada, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, serta Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Dalam menghadapi persoalan ini, pemerintah dinilai perlu menerapkan model kebijakan rasional, yaitu pendekatan yang menekankan pengambilan keputusan berdasarkan data, logika, serta analisis manfaat dan risiko.
Pendekatan ini memungkinkan pemerintah menilai dampak sosial, hukum, dan etika dari penggunaan AI secara menyeluruh.
Proses perumusan kebijakan juga sebaiknya melibatkan para ahli teknologi, lembaga hukum, dan komunitas digital, agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya reaktif tetapi juga berkelanjutan.
Pemerintah bisa mengambil langkah strategis dengan membuat regulasi khusus mengenai penggunaan AI. Regulasi ini akan mengatur etika, batasan, dan sanksi hukum bagi mereka yang menyalahgunakan teknologi, sekaligus memberikan kepastian hukum dan memperkuat perlindungan bagi korban konten digital.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan literasi digital, terutama bagi generasi muda yang paling aktif di media sosial.
Kampanye publik tentang “etika penggunaan AI” dapat dilakukan melalui kerja sama dengan platform digital seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter), guna menekan penyebaran konten manipulatif.
Tak kalah penting, lembaga seperti Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) perlu memperkuat sistem pemantauan konten AI dengan pendekatan berbasis algoritma deteksi dini. Langkah ini diharapkan bisa mencegah penyebaran konten yang berpotensi melanggar privasi sebelum menjadi viral.
Fenomena tren foto polaroid AI ini sekaligus menjadi pengingat bagi pengguna media sosial untuk lebih berhati-hati dalam berkreasi. Teknologi memang bisa digunakan untuk hal-hal kreatif, tapi tetap ada batas yang harus dijaga.
Jika disalahgunakan, hasilnya bisa merugikan dan menimbulkan masalah baru. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak agar kemajuan teknologi tidak berubah menjadi sumber masalah.(*)
*) penulis adalah Mahasiswa S1 Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman.







