Azan, Suara Guk-guk dan Orde Baru
Azan, Suara Guk-guk dan Orde Baru
Oleh: Endro S. Efendi
“Tong, tong, tong, tong, tong………” Suara kentongan bersahut-sahutan dari beberapa sudut kampung. “Maliiiing….. maliiiing…..,” teriak beberapa warga kemudian. Sontak seluruh warga keluar, mencari asal suara dan segera berlari mengejar sosok yang diduga maling tadi.
Suasana seperti di atas, hampir bisa dipastikan sudah jarang lagi terlihat. Keberadaan Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) yang biasanya dilengkapi kentongan tadi, banyak digantikan dengan pos jaga yang ditunggu oleh sekuriti atau satpam. Ada pula yang menyebutnya dengan wakar.
Pengamanan lingkungan, berganti dengan pengamanan masing-masing. Setiap rumah berlomba-lomba memasang CCTV alias kamera pengintai. Kamera pengintai kini tidak hanya urusan keamanan. Tapi sudah bergeser pula sebagai status sosial. Boleh dikata, hanya mereka yang berpunya yang bisa memasang kamera CCTV. Tentu saja, tak merasa perlu lagi membayar iuran Poskamling tadi.
Hilangnya kentongan yang populer di masa orde baru silam, seolah menjadi tanda, lunturnya kerukunan dan kebersamaan di negara ini. Kebersamaan yang dulu begitu indah, tanpa sekat dan tanpa simbol tertentu, begitu sangat terasa.
Generasi milenial sudah disibukkan dengan gawainya masing-masing. Sementara yang dewasa, sibuk berpolitik dan berusaha mempertahankan kelompok dan identitas masing-masing. Jangankan beda agama. Satu agama saja, ribut. Masing-masing melakukan klaim paling benar dan paling layak masuk surga.
Rapuhnya kerukunan bangsa ini, satu di antaranya adalah sejak hilangnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebagian generasi bangsa ini, tak lagi mendapatkan penanaman norma Pancasila secara mendalam.
Apakah Pancasila lebih tinggi ketimbang agama? Tentu tidak. Agama semestinya justru menjadi filter utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, bertindak sebagai pemersatunya. Sehingga masing-masing individu bisa saling memahami, toleransi, dan menghormati satu sama lain.
Saat nilai-nilai tersebut terabaikan, akhirnya ada orang yang merasa lebih benar. Orang ini kemudian membentuk kelompok. Kelompok ini kemudian bertemu dengan yang satu pandangan, hingga membentuk organisasi lebih besar. Inilah yang kemudian bangsa ini mudah terkotak-kotak.
Kondisi yang terjadi saat ini, di masa lalu sebenarnya sudah sangat disadari oleh Presiden Bapak Soeharto. Bapak Soeharto sudah sangat memahami, Indonesia sebagai bangsa yang besar, harus dijaga pula dengan kekuatan kepemimpinan yang sangat kuat. Terlepas dari sisi kurang positif yang dimiliki, faktanya di era orde baru di masa lalu, berhasil mengantisipasi bibit-bibit perselisihan baik atas nama agama, suku, atau antar kelompok. Tak ada tempat sama sekali bagi yang mencoba radikal.
Munculnya aturan tentang spiker atau toa masjid, yang dilakukan Kementerian Agama, sejatinya adalah akumulasi dari hilangnya kerukunan antarmasyarakat ini. Bukankah sejak negara ini berdiri, azan sudah sejak dulu berkumandang? Bukankah sejak dulu, umat agama lain juga sudah terbiasa? Kenapa itu bisa terjadi? Karena semua merasa satu bangsa, satu keluarga, satu saudara. Semua saling menghargai.
Saat ada yang merasa paling hebat, paling pintar, paling benar, paling layak masuk surga, itulah percikan masalah yang kemudian timbul dan terus membesar. Jangankan di sebuah negara. Dalam satu keluarga, jika ada satu saja anggota keluarga yang merasa hebat, maka perselisihan tak akan bisa lagi dihindari.
Diakui atau tidak, kekuatan bangsa ini perlahan makin rapuh dan keropos, digerogoti oleh berbagai kekuatan lain yang tidak ingin Indonesia tumbuh menjadi negara yang kuat dan kokoh. Sudah pasti, ada campur tangan pihak lain, karena Indonesia merupakan negara yang sangat seksi, bak gadis cantik sempurna. Siapa saja, ingin menikmati kesempurnaan itu.
Salah satu cara efektif, agar Indonesia kembali kokoh dan kuat adalah, mengembalikan kepemimpinan seperti era orde baru dari sisi kekuatan dan kedaulatan negara. Namun, ini semua harus diawali dengan penanaman nilai-nilai Pancasila yang utuh. Sebab, mereka yang ‘anti-Pancasila’ sudah terlanjur menyusup dan ikut menjadi bagian sebagai pengelola negeri ini.
Baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan pers sebagai pilar demokrasi, ada saja yang ‘anti-Pancasila’ dan merasa paling benar. Jika ini sudah dikembalikan ke jalurnya, disertai dengan terpilihnya presiden baru di 2024 nanti dengan kewibawaan mumpuni, yakinlah Indonesia akan kembali menjadi Macan Asia yang sangat disegani. Semoga. (*)
Penulis: Ketua PWI Kaltim, Alumni PPRA 57 Lemhannas RI